Senin, 22 April 2013

RESI SETA GUGUR

 



Dikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak Kurawa mengangkat Bisma (Resi Bisma) sebagai pimpinan perang dengan pendamping Pendeta Drona dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan siasat Wukirjaladri yang berarti “gunung samudra.”

Pasukan dari negara-negara baik yang mendukung Pandawa maupun yang mendukung Kurawa telah berdatangan di Tegal Kurusetra. Mereka telah mendirikan perkemahan-perkemah an.Malam ini mereka mulai berjaga jaga, karena esok hari Perang Barata Yuda, akan dimulai. Hati dan perasaaan mulai bergetar, mengapa harus berperang, yang akan mengorbankan banyak orang tewas, mengapa tidak memilih damai, berdasar kan pembagian tanah Astina yang telah dibagi secara adil oleh Resi Bisma waktu itu, Kembalikanlah Indraprasta ke Pandawa. Perda maian telah diajukan kepada Kurawa, namun ditolak.Besok pagi Bisma menjadi Panglima Perang Kurawa melawan Pandawa. Sementara itu Prabu Sri Bathara Kresna meminta Pandawa bersiap-siap memasuki medan laga Kurusetra. Seta ditun juk menjadi Senapati perang Pandawa. Sedang kan kedua adiknya Utara memimpin pasu kan disayap kanan dan Wratsangka pendamping kiri, memimpin pasukan disayap kiri. Matahari mulai bersinar, suara sangkakala menyayat nya yat. Bergetar jiwa dan raga. Semua prajurit bersi ap berperang. Kedua belah pihak telah mengatur strategi perang.Resi Bisma telah memasuki me dan laga dan melayangkan beberapa senjata pada Perajurit Pandawa. Arjuna menangkis serangan senjata Bisma.Sementera itu kereta perang Bisma melaju cepat ketengah prajurit Pandawa. Resi Bisma bertemu dengan Abimanyu, dimintanya Abimanyu mundur saja, karena masih terlalu muda. Kereta Perang Resi Bisma bertemu dengan kereta perang Arjuna, yang di saisi Prabu Kresna.Resi Bisma memberi pesan agar Prabu Kresna memerintahkan Srikandi maju ke medan laga, Srikandi lah orang yang bisa menghantarkan kematian Resi Bisma. Sementara kereta perang Prabu Salya mengawal kereta perang Resi Bisma dari arah kiri. Sedangkan disebelah kanan kereta perang Resi Bisma disebelah kanan adalah Kereta perang Pandita Durna.Sementara itu Arjuna kehilangan daya juang, melihat senapati Astina adalah kakeknya yang sangat disayangi, Sejak masih kecil kakek Bisma menyayanginya. Disnilah timbul dialog antara Arjuna dan Prabu Kresna.Untuk menggugah kembali semangat Arjuna.Dialog ini dikenal dengan Bagawad Gita.
Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang, dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan bermaksud membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa. Rukmarata memanah Resi Seta namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni seorang pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar garis pertempuran, Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada (pemukul) Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putera mahkota Mandaraka tewas seketika.
Kereta perang Resi Bisma bertemu Senapati Pandawa, Seta. Terjadilah adu panah antara Seta melawan Resi Bisma. Namun walaupun Bisma sudah berusia lanjut, ia masih lincah memainkan panah dan pedangnya. Keduanya masih berim bang. Sementara itu Werkudara dengan gadanya menyambar nyambar kepala Para Kurawa, Arjuna dengan panahnya melesat ke semua arah penjuru musuh,dan Nakula serta Sadewa membabat Kurawa dengan pedang kembarnya. Gatut kaca menyambar Nyambar-nyambar lawannya dari angkasa. Para Kurawa banyak yang ketakutan dengan kegesitan para Pandawa. Sementara Putera Wirata, Utara sebagai pendamping Senapati sayap Kanan dan Wratsangka disayap kiri terus melaju ketengah medan pertempuran. Resi Bisma merasa mulai terdesak. Resi Bisma meninggalkan medan laga. Resi Seta mengejarnya.Resi Bisma berlari ke Sungai Gangga dan masuk kedalam Sungai Gangga menemui ibunya. Resi Bisma pamit mati pada ibunya, Dewi Gangga merasa sedih, karena seingatnya Resi Bisma, yang sewaktu muda bernama Dewabrata, sampai sekarang hidupnya tidak pernah bahagia, Bisma mestinya yang ber tahta di Astina menggantikan ayahnya. Dewi Gangga memberikan cundrik. Resi Bisma berpamitan dan keluar dari sungai Gangga, ternyata di luar sudah ditunggu Seta. Resi Bisma meloncat dan menusukan cundrik di dada Seta, yang membuat Seta Gugur.
Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta Drona. Bisma dengan bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang bersenjata gada Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa.



i

PRABU BOGADENTA GUGUR

Prabu Boga Denta Gugur

Sepeninggal resi Bisma, prabu Bogadenta diangkat menjadi senopati pengganti dengan pengapitnya kertipeya. Untuk menghadapinya, pandawa menampilkan arjuna sebagai senopti dengan werkudara sebagai pengapitnya. dengan mengendarai gajah murdaningkung dengan sratinya dewi murdaningsih, prabu bogadenta mengamuk dengan hebatnya.

melihat keadaan itu, arjuna dengan kereta perangnya menempuh aliran wadyabala astina dan membawa pasukannya menerobos masuk ke dalam pertahanan kurawa sehingga barisan lawan terdesak mundur. arjuna berhadapan langsung dengan prabu bogadenta. perang tanding antara 2 panglima ini dimenangkan oleh arjuna. prabu bogadenta beserta gajah dan sratinya mati sekaligus.
werkudara dengan gada pusakanya membabat hancur wadyabala astina, bergerak seperti banteng luka. ia mendesak senopati pengapit kurawa, kertipeya, dan menghantamkan gadanya hingga dada kertipeya hancur.
prabu duryudana menyaksikan senopatinya gugur segera menunjuk penggantinya dan mengangkat prabu gardapati, raja puralaya sebagai senopati dan wresaya sebagai pengapitnya. mengetahui perubahan siasat kurawa, pandawa lalu menggeser kedudukan senpati dan pengapitnya. werkudara menjadi panglima dan arjuna sebagai pendamping.
akibat siasat prabu gardapati, yang memancing bima bergeser dari tempat kedudukannya ketempat yang tidak dikenal, maka werkudara dan arjuna terjebak ke dalam tempat yang berlumpur/embel/paluh. tapi pada saat terakhir, werkudara dapat menangkap prabu gardapati dan wresaya untuk berpegangan naik keatas, sehingga keduanya terjerembab masuk ke dalam lumpur.
werkudara yang menggendong arjuna dengan memanjat punggung kedua lawannya segera meloncat
dari lumpur berbahaya itu. prabu gardapati dan wresaya mati tenggelam dalam lumpur.

RESI BISMA GUGUR

Resi Bisma Gugur

Sementara perang semakin sengit, kini Prabu Salya telah dapat lawan yang seimbang, Prabu Salya bertemu dengaan putera Wirata, Utara. Keduanya duanya sama sama gesit dalam memainkan segala senjata, dari panah, pedang dan adu kesaktian. Namun ketika terdengar sorak sorai Seta Gugur, Utara terlena, terperanjat, dan Utara tidak teringat lagi kalau masih di medan perang,Kesempatan baik itu tidak disia siakan oleh Prabu Salya, sehingga dengan mudah membidikkan senjatanya kepada Raden Utara. Senjata Prabu Salya mengenai dada Utara, maka gugurlah Raden Utara ditangan Prabu Salya.
Demikian juga Raden Wratsangka mendapat lawan tangguh yaitu dengan Pendita Durna. Yang gesit dan pandai olah senjata dan kanuragan,maka dengan mudah Pendita Durna membunuh Wratsangka. Pihak Kurawa bersorak sorai dengan gugurnya tiga Satria Wirata. Kubu Pandawa sangat berduka dengan kematian tiga satria Wirata.Sementara itu pada hari kesepuluh Perang Barata Yudha, Prabu Kresna meminta Srikandi segera bersiap untuk melawan Resi Bisma. Resi Bisma juga telah siap kembali bertempur, setelah berhasil mengalahkan Seta ditepi Sungai Gangga.Dewi Srikandi sudah berhadapan dengan Eyang Bisma. Dewi Srikandi berkali kali dipukul, oleh Resi Bisma, namun tidak membalas.Tiba-tiba Resi Bisma terkesima, waktu memandang Dewi Srikandi, seperti berhadapan dengan Dewi Amba.
Resi Bisma tidak bisa berbuat apa-apa, ia teringat sekali waktu Dewi Amba dengan manja mempesona Resi Bisma. Rupanya Dewi Amba telah memasuki tubuh Dewi Srikandi. Melihat situasi yang sede mikian rupa,Prabu Kresna langsung memerin tahkan Dewi Srikandi untuk memanah Resi Bisma, Dewi Srikandi segera memanah Resi Bisma, panahpun dengan cepat melesat kearah Resi Bisma, tetapi apa karena ia seorang wanita atau ia ragu ragu terhadap Resi Bisma, panah Dewi Srikandi hampir tidak sampai kepada Resi Bisma.
Dengan cepat Arjuna melayangkan sebuah panah, dengan kekuatan tinggi mendorong panah Srikandi melaju dengan cepat dan mengenai dada Resi Bisma. Resi Bisma , jatuh ke bumi. Sasangkala berbunyi seiring dengan tumbangnya Resi Bisma di Tegal Kurusetra. Untuk menghor mati Resi Bisma, seseorang yang telah banyak berbuat baik kepada Pandawa maupun Kurawa, yang merelakan melepas tahta Astina demi adik-adiknya, tetapi malah menjadikan Negeri Asti napura hancur lebur, Demikianlah nasib Negeri Astinapura, peninggalan ayahanda Bisma yaitu Prabu Sentanu.
Resi Bisma ingin tidur diatas bantal. Prabu Suyudana memerintahkan Dursasana mengambil tilam bersulam emas dari istana Astina. Tetap Resi Bisma tidak mau, Resi Bisma minta pada Arjuna untuk mengambilkan bantal pahlawan. Secepat kilat Arjuna mengambil busurnya dan menancapkan beberapa anak panah di dekat Resi Bisma tidur. Kepala Resi Bisma disangga diatas panah Arjuna yang menancap di tanah dibawah kepalanya.
Sedangkan Werkudara memberikan perisai-perisai perajurit yang telah gugur untuk menyelimuti Resi Bisma. Resi Bisa mmeminta pada Dewa untuk memberikan umur sampai akhir Perang Barata Yudha. Karena ia ingin melihat akhir perang Barata Yudha.Kemudian oleh Pandawa, Resi Bisma dibuatkan penutup kelambu untuk menghormati Resi Bisma.
Pandawa dalam perang Barata Yudha ini kehilangan banyak tokoh-tokoh berguguran. Karena Resi Bisma adalah ahli strategi Perang yang handal.
Resi Bisma bertahan selama 10 hari menjadi senapati pihak Kurawa.

BARATA YUDHA ABIMANYU RANJAB

Barata Yudha Abimanyu Ranjap

Pada hari ketiga belas Bharatayuddha, pihak Korawa menantang Pandawa untuk mematahkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai Chakrawyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi.
Namun, pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka. Oleh karena Pandawa sudah menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan namun mencoba untuk menggunakan Abimanyu yang masih muda, yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha namun tidak tahu bagaimana cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu mereka akan mematahkan formasi itu bersama Abimanyu dan membantu sang pemuda keluar dari formasi tersebut.
Pada hari penting itu, Abimanyu menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. pandawa bersaudara dan sekutunya mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi, namun mereka dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang memakai anugerah Siwa agar mampu menahan para Pandawa kecuali Arjuna, hanya untuk satu hari. Abimanyu ditinggal sendirian untuk menangkis serangan pasukan Korawa.
Abimanyu membunuh dengan bengis beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera Duryodana, yaitu Laksmana. Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryodana marah besar dan menyuruh segenap pasukan Korawa untuk menyerang Abimanyu. Karena gagal menghancurkan baju zirah Abimanyu, atas nasihat Drona, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya dibunuh, dan seluruh senjatanya terbuang. Putera Dursasana mencoba untuk bertarung dengan tangan kosong dengan Abimanyu. Namun tanpa menghiraukan aturan perang, pihak Korawa menyerang Abimanyu secara serentak. Abimanyu mampu bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putera Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya dengan gada.
Arjuna membalas dendam
Berita kematian Abimanyu membuat Arjuna sangat sedih dan sakit hati. Ia sadar, bahwa seandainya Jayadrata tidak menghalangai para Pandawa memasuki formasi Chakrawyuha, Abimanyu pasti mendapat bantuan. Ia kemudian bersumpah akan membunuh Jayadrata pada hari berikutnya sebelum matahari tenggelam. Menanggapi hal itu, pihak Korawa menempatkan Jayadrata sangat jauh dari Arjuna. Ribuan prajurit dan ksatria mengelilingi dan melindungi Jayadrata. Arjuna berusaha menjangkau Jayadrata, namun ribuan pasukan Korawa mengahalanginya. Hingga matahari hampir terbenam, Jayadrata masih jauh dari jangkauan Arjuna. Melihat hal ini, Kresna menggunakan kecerdikannya. Ia membuat gerhana matahari, sehingga suasana menjadi gelap seolah-olah matahari sudah tenggelam. Pihak Korawa maupun Pandawa mengira hari sudah malam, dan sesuai aturan, mereka menghentikan peperangan dan kembali ke kubu masing-masing. Dengan demikian, pihak Korawa tidak melanjutkan pertarungan dan Jayadrata tidak dalam perlindungan mereka lagi. Saat kereta Arjuna dekat dengan kereta Jayadrata, matahari muncul lagi dan Kresna menyuruh Arjuna agar menggunakan kesempatan tersebut untuk membunuh Jayadrata. Arjuna mengangkat busurnya dan meluncurkan panah, memutus leher Jayadrata. Tepat pada saat tersebut, hari sudah sore, matahari sudah tenggelam dan Arjuna berhasil menuntaskan sumpahnya untuk membunuh Jayadrata.
Penjelasan mengenai kematiannya

Abimanyu adalah inkarnasi dari putera Dewa bulan. Ketika Sang Dewa bulan ditanya oleh Dewa yang lain mengenai kepergian puteranya ke bumi, ia membuat perjanjian bahwa puteranya tinggal di bumi hanya selama 16 tahun sebagaimana ia tak dapat menahan perpisahan dengan puteranya. Abimanyu berusia 16 tahun saat ia terbunuh dalam pertempuran.
Putera Abimanyu, yaitu Parikesit, lahir setelah kematiannya, dan menjadi satu-satunya kesatria Keluarga Kuru yang selamat setelah Bharatayuddha, dan melanjutkan garis keturunan Pandawa. Abimanyu seringkali dianggap sebagai ksatria yang terberani dari pihak Pandawa,
Riwayat
Dikisahkan Abimanyu karena kuat tapanya mendapatkan Wahyu Makutha Raja, wahyu yang menyatakan bahwa keturunannyalah yang akan menjadi penerus tahta Para Raja Hastina.
Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pangalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana. Ia merupakan putra Arjuna, salah satu dari lima ksatria Pandawa dengan Dewi Subadra, putri Prabu Basudewa, Raja Mandura dengan Dewi Dewaki.
Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada. Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan ia telah mendapat “Wahyu Hidayat”, yang mamp membuatnya mengerti dalam segala hal. Setelah dewasa ia mendapat “Wahyu Cakraningrat”, suatu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar.
Abimanyu mempunyai sifat dan watak yang halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, hatinya keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani. Dalam olah keprajuritan ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna. Sedang dalam olah ilmu kebathinan mendapat ajaran dari kakeknya, Bagawan Abiyasa.
Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia mempunyai dua orang isteri, yaitu:
Dewi Siti Sundari, putri Prabu Kresna, Raja Negara Dwarawati dengan Dewi Pratiwi,
Dewi Uttari, putri Prabu Matswapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputra Parikesit.
Bharatayuddha


Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuddha setelah sebelumnya seluruh saudaranya mendahului gugur, pada saat itu ksatria dari Pihak Pandawa yang berada dimedan laga dan menguasai gelar strategi perang hanya tiga orang yakni Werkodara, Arjuna dan Abimanyu. Gatotkaca menyingkir karena Karna merentangkan senjata Kuntawijayandanu. Werkodara dan Arjuna dipancing oleh ksatria dari pihak Korawa untuk keluar dari medan pertempuran, maka tinggalah Abimanyu.
Ketika tahu semua saudaranya gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur gelar perang, dia maju sendiri ketengah barisan Kurawa dan terperangkap dalam formasi mematikan yang disiapkan pasukan Korawa. Tak menyiakan kesempatan untuk bersiap-siap, Korawa menghujani senjata ketubuh Abimanyu sampai Abimanyu terjerembab dan jatuh dari kudanya (dalam pewayangan digambarkan lukanya “arang kranjang” (banyak sekali) dan Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata ditubuhnya) sebagai risiko pengucapan sumpah ketika melamar Dewi Uttari bahwa dia masih belum punya istri dan apabila telah beristri maka dia siap mati tertusuk berbagai senjata ketika perang Bharatayuddha, padahal ketika itu sudah beristrikan Dewi Siti Sundari.
Dengan senjata yang menancap diseluruh tubuhnya sehingga dia tidak bisa jalan lagi tidak membuat Abimanyu menyerah dia bahkan berhasil membunuh putra mahkota Hastina (Lesmana Mandrakumara) dengan melemparkan keris Pulanggeni setelah menembus tubuh empat prajurit lainnya, pada saat itu pihak Korawa tahu bahwa untuk membunuh Abimanyu harus memutus langsang yang ada didadanya, kemudian Abimanyupun gugur oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata, ksatria Banakeling.

ABIMANYU GUGUR

                     ABIMANYU GUGUR


Masih dalam suasana Perang Baratayudha yang baru beberapa hari terjadi.  Prabu Duryudana masih tak habis pikir bagaimana mungkin senapati Hastinapura sekaliber Resi Bhisma harus gugur ditangan prajurit wanita, Wara Srikandhi.  Padahal, semua orang tahu bagaimana kehebatan Pandhita Talkandha  yang  tak akan mati jika bukan karena keinginannya sendiri.  Hal ini membuat Duryudana frustasi dan berniat tidak melanjutkan Perang Bharatayudha, jika tidak segera mendapatkan dorongan semangat dari Adipati Karna.
Duryudana beranggapan, bahwa sumber kekuatan Pandhawa adalah Puntadewa.  Oleh karena itu, dirasa perlu untuk menangkap Puntadewa hidup-hidup.  Skenaraionya begini, jika Puntadewa berhasil ditangkap rencananya tidak akan dibunuh tetapi justru akan ditantang untuk kembali bermain dadu dengan perjanjian yang sama ketika Pendhawa dikalahkan bermain dadu beberapa tahun lalu.   Dengan begitu, kembali pendhawa akan menjadi orang buangan dan tidak lagi memiliki hak atas Negara Hastina.  Duryudana sadar, menghadapi pendawa dalam perang terbuka adalah hal yang sulit dilakukan.
Untuk tugas ini, Pendhita Durna diangkat menjadi Senapati Bulupitu.  Durna menyanggupi tugas ini dengan catatan Puntadewa dijauhkan dari Wrekudara dan Arjuna.  Prabu Gardapati dari Giripura Wresaya dari kasapta yang juga merupakan murid Pendhita Durna, menyanggupkan diri untuk menyingkirkan Wrekudara dan Arjuna dari sisi Puntadewa.  Dengan kekuaktan ini disusunlah skenario untuk menyenrang Pendhawa dnegan Gelar Cakrabyuha.
Mendengar di fihak Kurawa menempatkan Durna sebagai Senapati, difihak Pandawa menunjuk Drestajumena menjadi Senapati.  Ia adalah putera pancala, adik kandung Wara Subadra.  Dalam menghadapi taktik Durna dengan Cakhrabyuha, Drestajumena menggunakan Gelar Garuda Nglayang.  Perang berlangsung dengan sangat dahsyat dan banyak korban berjatuhan dikedua bel;ah fihak.
Ditengah pertempuran, Werkudara mendapat tantangan dari Prabu Gardapati untuk bertempur sendiri di luar arena Kurukhsetra. Wrekudara menerima tantangan untuk meninggalkan posnya sebagai sayap kiri.  Demikian juga Arjuna yang mendapat tantangan pribadi dari Prabu Wresaya juga mendinggalkan posnya sebagai sayap kanan taktik Garudan Nglayang.  Hal ini sungguh membuat kecewa sang Senapati karena dengan tidak disiplinnya Wrekudara dan Arjuna, taktik Garuda Nglayang sama sekali tidak efekti.  Barisan Pendawa berada dalam bahaya!
Sementara itu, di Keraton Wiratha, Abimanyu yang kecewa karena tak dibawa serta dalam perang Baratayudha, sedang menunggui isterinya, Dewi Utari yang tengah mengandung.  Meski hal ini merupakan amanat Prabu Kresna akan tetapi jiwa ksatria Abimanyu tak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya harus berada di Keraton sementari ribuan prajurit lain mempertaruhkan hidupnya diKurukhsetra.
Kehadiran Gatutkaca di Keraton Wiratha guna menyampaikan titah Sri Kresna untuk memanggil  Abimanyu agar bersama Gatutkaca menggantikan posisi Arjuna dan Werkudara yang meninggalkan posnya untuk menerima tantangan perang Prabu Gardapati dan Prabu Wresaya, sungguh merasa sangat berbahagia.  Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu Abimanyu untuk bisa ikut bertempur di Kuruksetra.

Dewi Siti Sundari, putri Sri Kresna  yang sudah mengetahui isyarat dari ayahandanya, berusaha untuk menahan kepergian Abimanyu.  Berbagai cara ditempuh agar Abimanyu tidak merangkat ke Kurukhsetra akan tetapi Abimanyu tak pernah surut.  Abimanyu mantap menuju ke medan pertempuran.
Seperti kita ketahui, akhirnya abimanyu gugur dalam pertempuran bear ini.

Prabu Gardapati

Prabu Gardapati

Prabu Gardapati seorang raja perwira yang diundang kerajaan Hastinapura pada waktu perang Baratayudha. Raja ini dipuji-puji oleh orang Hastinapura karena dianggap akan mampu menyudahi peperang ini. Prabu Gardapati memajukan diri ke medan perang, dan berperang sampai titik darah penghabisan. Namun kemudian Prabu Gardapati tewas juga di medan peperangan. Kematian raja-raja undangan kerajaan Hastinapura itu sangat mengecilkan hati barisan tentara Hastinapura.

BENTUK WAYANG

Prabu Gardapati bermata telengan putih, hidung dempak. Berjamang tiga susun dengan garuda membelakang besar, berpraba, sunting sekar kluwih, kalung ulur-ulur, bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Kain katongan lengkap dengan celana cindai.

GUGURING WADYA BARATA

GUGURING WADYA BARATA

       GUGURING WADYA BALA BARATA ING TEGAL KURUSETRA

1.Pandawa Lima : Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa

2.Putra-putra pandawa :

Raden Pancawala(putra Puntadewa), tewas oleh Aswatama di hr ke 19/20
Raden Antareja(putra Bima), tewas sebagai tumbal sebelum Baratayuda
Raden Gatotkaca(putra Bima), tewas di hr ke 15
Raden Antasena(putra Bima), tewas sebagai tumbal sebelum Baratayuda
Raden Abimanyu(putra Arjuna), tewas di hr ke 13
Bambang Wisanggeni(putra Arjuna) tewas sebagai tumbal sebelum Baratayuda
Bambang Sumitra(putra Arjuna) tewas di hr ke 13 oleh Karna
Bambang Wilugangga(putra Arjuna) tewas di hr ke 12 oleh Drona
Bambang Brantalaras(putra Arjuna) tewas di hr ke 13 oleh Karna
Bambang Irawan(putra Arjuna) tewas sebelum Baratayuda oleh Kala Srenggi
Bambang Kumaladewa&Kumalasekti(putra Arjuna) tewas di hr ke 8 oleh Bisma
Bambang Wijanarka(putra Arjuna) tewas di hr ke 8 oleh Bisma
Bambang Gandakusuma(putra Arjuna) tewas di hr ke 8 pleh Bisma

3.Kerajaan Dwarawati

Prabu Kresna, Setyaki(pusaka Gada Wesi Kuning) dan Udawa tanpa pasukan.
10 putra Setyaki gugur oleh Burisrawa di hr ke 5
 

4.Kerajaan Wiratha

 Prabu Matswapati & putra2nya:
Raden Utara tewas di hr ke 1 
oleh Prabu Salya.
Raden Wratsangka tewas di hr ke 1 oleh Drona
Resi Seta tewas di hari 1 oleh Bisma.
Membantu perang karena Dewi Utari menikah dgn Abimanyu dan kekerabatan keluarga

5.Kerajaan Cempala

Prabu Drupada tewas di hari ke 7 oleh Drona
Dewi Wara Srikandi tewas di hr ke 19/20 oleh Aswatama
Drestajumena tewas di hr ke 19/20 oleh Aswatama
Membantu perang demi balas dendam terhadap Beg. Drona

6.Kerajaan Pringgandani

Raden Harya Prabakesa(paman Gatotkaca) tewas di hr ke 15 oleh Karna
Raden Harya KalaBlem-Blem tewas di hr ke 15 oleh Karna
Putra Yamawidura : Raden Sanjaya tewas di hr ke 16 oleh Karna

7.Keluarga Kurawa

Dewi Dursilawati : kurawa no 101 tewas oleh Arjuna di hr ke 14
R. Citraksa : kurawa no 85 tewas oleh Arjuna setelah Abimanyu gugur
R. Citraksi : kurawa no 100 tewas oleh Arjuna setelah Abimanyu gugur
Prabu Bogadenta : dari ari2 kurawa, tewas di hr ke 3 oleh Arjuna bersam gajah Murdaningkung dan pawangnya, Dewi Murdaningrum
R. Durmagati : tewas tertimpa robohan Raden Gatotkaca
R. Kartawarma : tewas setelah Baratayuda oleh Bima

8.Kerajaan Pendukung :

Kerajaan Alengka : Prabu Dusarma, tewas di hr ke 2 oleh Bima
Kerajaan Gandara : Arya Gajaksa dan Arya Sarabasta(saudara Sengkuni) tewas oleh Arjuna
Kerajaan Mandraka : P Salya dan putra2nya
Kerajaan Dwarawati : pasukan minus Kresna, Setyaki dan Udawa
Kerajaan Mandura : Pasukan minus Baladewa
Kerajaan Awangga : Adipati Karna, Warsasena(putra sulung Karna) tewas oleh Setyaki
Kerajaan Banakeling : Jayadrata
Kerajaan Paranggupita : Prabu Prameya & gajah Hestitama tewas oleh Bima.
Kerajaan Hastinapura : Prabu Pratipa tewas oleh Bima.

Raden Gathutkaca Gugur

RADEN GATHUTKACA GUGUR 

Korawa mengangkat Adipati karna sebagai senopati perang setelah Burisrawa gugur. Hari itu sudah gelap, dan menurut aturan perang, perang dihentikan sementara. Namun tidak tahu mengapa Korawa melanggar aturan itu dan mengirim senopati perangnya malam itu.

Adipati Karna menerabas dan menghancurkan pasukan Pandawa di garda depan. Para penjaga perkemahan tidak mampu menandingi krida sanga Adipati. Berita itu cepat terdengar hingga perkemahan Pandawa Mandalayuda.


Sri Kresna kemudian memanggil Raden Haryo Gatotkaca, raja Pringgodani, putera Raden Bratasena dan Dewi Arimbi. Di sampan Sri kresna, Raden Bratasena (Bimasena) berdiri layaknya gunung memperhatikan dengan seksama apa yang dibicarakan antara Sri kresna dan puteranya.
Kresna : ”Anakku tersayang Gatotkaca….Saat ini Kurawa mengirimkan senopati nya di tengah malam seperti ini. Rasanya hanya kamu ngger yang bisa menandingi senopati Hastina di malam gelap gulita seperti ini”

Gatotkaca : ”Waduh, wo prabu…..terimakasih Wo. Yang saya tunggu – tunggu akhirnya sampai juga kali ini. Wo prabu, sejak hari pertama perang Baratayuda saya menunggu perintah wo prabu untuk maju ke medan perang. Wo prabu Kresna, hamba mohon do’a restu pamit perang. Wo hamba titipkan istri dan anak kami Danurwindo. Hamba berangkat wo, Rama Wrekudara mohon pamit….”

Setelah mendapat perintah dari Sri Kresna, Gatotkaca dalam sekejap tidak terlihat. Sebenarnya, Sri Kresna merasakan bahwa inilah saatnya Gatotkaca mati sebagai pahlawan Pandawa. Namundi atidak mau merusak hati adik-adiknya Pandawa. Namun ia harus mempersiapkan hati Werkudara untuk menerima kenyataan yang mungkin akan memilukannya nanti.

Kresna : “Wrekudoro…“

Werkudara : “Injih, kakang Kresna“ (Injih = iya)

Kresna : “Aku kok agak merasa aneh dengan cara pamitan Gatotkaca, mengapa harus menitipkan istri dan anaknya ??“

Werkudara : “Wah…Kakang seperti anak kecil. Orang berperang itu kalau nggak hidup ya mati. Ya sudah itulah anakku Gatotkaca, dia mengerti tugas dan akibatnya selaku satria.

Kresna : “Oo..begitu ya, ya sudah kalau begitu. Kita sama – sama doakan mudah-mudahan  yang terbaik yang akan diperoleh anakmu Gatotkaca.“ (Sebenarnya Kresna hanya mengukur kedalaman hati dan kesiapan Werkudara).

Malam semakin larut, namun di angkasa ladang Kurukhsetra kilatan ribuan nyala obor menerangi bawana. Nayal obor ribuan prajurit kedua belah pihak yang saling hantam gada, sabet pedang, lempar tombak dan kelebat kelewang dan juga hujan anak panah.

 
 Gatotkaca mengerahkan semua kemampuannya, dikenakannya Kutang Antakusuma, terompah Basunanda dan dikeluarkannya seluruh tenaga yang dimilikinya. Ia tebang mengangkasa dan sesekali menukik turun menyambar mangsanya. Sekali sambar, puluhan prajurit Hastina tergelepar tanpa daya dengan terpisahnya kepala-kepala mereka dari gembungnya.

Sejak ia lahir, Gatotkaca memang sudah menunjukkan tanda-tand kedigdayaannya. Ari-arinya tidak bisa diputus dengan senjata apapun. Kuku Pancanaka Bimasena  mental, keris Pulanggeni Arjuna tiada arti, dan semua senjata di Amarta sudah dicoba namun tidak ada yang mamou memutuskan tali pusarnya. Para sesepuh Amarta termasuk Sri Kresna sudah kehabisan akal bagaimana menolong Sang jabang bayi Dewi Arimbi.

Raden Arjuna, sang paman kemudian menyingkir sejenak , dan atas saran Sri Kresna, ia menepi untuk meminta petunjuk kepada Yang Maha Esa untuk mengatasi masalah itu. Di kahyangan Suralaya, permintaan Arjuna didengar oleh para Dewa. Bathara Guru kemudian mengutus Bathara Narada untuk memberikan senjata berupa keris Kunta Wijayandanu untuk memotong ari-ari bayi Dewi Arimbi itu.

Bathara Narada turun dengan membawa senjata Kunta untuk diserahkan kepada Arjuna yang saat itu ditemani oleh para punokawan, abdi tersayang. Namun, di tempat lain Adipati Karna juga sedang mengadu kepada ayahnya, Bethara Surya, memohon welas asih agar diberi sebjayta andalan guna menghadapi perang besar nanti. Dewa Surya kemudian menyarankan anaknya untuk merampas senjata Kunta dari Bethara Narada.

Karna dan Arjuna adalah saudara seibu yang wajah dan perawakannya sangat mirip, hanya suaranya saja yang membedakannya. Maka ketika Adipati Karna dirias oleh Dewa Surya menyerupai Arjuna, Bethara Narada tidak bisa lagi membedakan mana Arjuna dan Adipati Karna.

Demi membantu sang putera, Dewa Surya juga mengubah siang yang terik dan terng benderang, tiba-tiba meredup seolah menjelang malam, dan dengan upaya dan rekayasanya, terjadilah gerhana surya. Bethara narada yang sudah tua dengan wajah yang selalu mendongak ke atas itu semakin rabun karena gerhana ini.

Adipati karna kemudian mencegat Bethara Narada dan tanpa rasa curiga, ia memberikan senjata Kunta kepada Arjuna palsu. Karena tugasnya sudah selesai, maka ia berniat untuk kembali ke kahyangan, namun ditemuinya Arjuna lagi yang diiringi para Punokawan. Sadar bahwa dirinya tertipu, ia lalu memerintahkan Arjuna untuk merebut senjata Kunta dari angan Adipati Karna.

Perang tanding antara Arjuna dan Karna pun tidak bisa dihindarkan. Namun, Raden Arjuna hanya berhasil merebut warangka senjata Kunta dari Adipati Karna. Ia kemudian kembali ke Amarta, dan ari-ari jabang bayi Arimbi yang kelak bernama Gatotkaca itu bisa diputus dengan warangka itu. Keanehan pun terjadi ketika sesaat setelah ari-ari jabang bayi diputus, seketika wearangka itu hilang dan menyatu ke dalam perut si jabang bayi.

Sekarang saat perang besar Baratayuda terjadi, sudah takdirnya Senjata Kunta mencari warangkanya di tubuh Raden Gatotkaca. Tidak berarti sesakti apapun Gatotkaca, yang konon berotot kawat, tulang besi dan kesaktiannya kuga ditempa di kawah Candradimuka, namun garis tangan Gatotkaca hanyalah sampai disini.

Di gerbang yang memisahkan antara alam fana dengan alam baka, sukma Kalabendana, paman Gatotkaca yang sangat menyayangi Gatotkaca sudah menunggu untuk sowan ke pengayunan yang Maka Pemberi Hidup. Bahkan, karena begitu sayangnya, Kalabendana tidak akan kembali ke asal kehidupannya jika tidak bersama keponakannya itu.

Di ladang Pertempuran, Karna sudah siap dengan busur panahnya dengan anak panah Kunta Wjayandanu. Dalam hatinya berbisik, “ Anakku cah bagus, belum pupus bekas ari-arimu, berani-beraninya kamu menghdapi awakmu ini. Bukan kamu yang aku tunggu ngger..Arjuna mana? Ya..ya..sma-sama menjalani darma satria, ayo aku antarkan kepergian syahidmu dengan Kunta wijayandanu ini”.

Sementara Gatotkaca, mata elangnya sangat tajam tahu semua gerak-gerik Sang Adipat Karna. Dia tahu riwayatnya, dia tahu bahwa warangka senjata Kunta ada dalam tubuhnya yang selama ini menyokong kekuatannya. Dicobanya untuk mengulur takdir, ia lalu terbang diantara awan-awan gelap yang menggantung tinggi di langit, mencoba menyembunyikan tubuhnya diantara gelapnya awan.

Namun takdir memang tidak bisa dipercepat atau ditunda. Kunta Wijayandanu terlepas dari busur adipati Karna, yang ketepatan dalam mengolah dan mengarahkan panah hamper mendekati sempurana dan hanya Arjuna yang mampu menandinginya. Secepat kilat, Kunta Wiajayndanu melesat ke angkasa. Di angkasa, Kalabendana sudah siaga menunggu tunggangan, dan dengan sigap ia menumpang ke senjata Kunta. Senjata Kunta dan Kalabendana, menghujam ke dada gatotkaca membelah jantung putera kinasih Bratasena itu.

Dalam sekaratnya, Gatotkaca berucap,” Aku mau mati kalau dengan musuh ku…”. Tubuh Gatotkaca jatuh mengarah ke kereta Basukarna. Namun Basukarna bukanlah ksatria biasa, ia secepat kilat melompat dari keretanya. Jasad Gatotkaca menimpa kereta, keretanya hancur lebur, pun dengan delapan kuda dan kusirnya tewas dengan jasad yang tak terbentuk.

Gugurnya Gatotkaca menjadi berita gembira bagi kubu Korawa. Para prajurit bersorak-sorai mengeluk-elukan sang Senopati. Kepercayaan diri mereka berlipat, semangat perang mereke meningkat dan keyakinan diri bertambah akan memenangi perang  akbar ini.

Werkudara : ”Gatot…, jangan kamu yang mati biar aku saja bapakmu…Hmmm Karno…..!!! beranimu hanya dengan anak kemarin sore..Ayo lawanlah Bapaknya ini kalau kamu memang lelaki lawan ayahnya

Prabu Salya Gugur

 
PRABU SALYA GUGUR


Semakin dekat Prabu Puntadewa, semakin berdebar jantung Prabu Salya. Firasatnya mengatakan inilah saat yang ia janjikan. Namun kemudian Prabu Salya teringat kembali akan keberadaan ajiannya yang diturunkan oleh mertuanya, Begawan Bagaspati. Aji Candabirawa.

Sejurus kemudian dipusatkannya segenap rasa dalam pamuja, meloncat dari goa garba ujud mahluk bajang berwajah raksasa. Itulah Aji Candhabhirawa!
“Raden Narasoma, hendak menyuruh apa kepadaku, Raden?!” Tanya Candabirawa.

“Sekali lagi aku meminta kerjamu. Lihat didepanku, dialah musuhku, Prabu Puntadewa. Bunuh dia!” Tanpa membantah, Candabirawa segera berlalu dari hadapan Prabu Salya. Ia kemudian mengamuk sejadi jadinya kearah para prajurit pengawal Prabu Puntadewa. Sementara Prabu Puntadewa sendiri telah  rapat dijaga oleh para prajurit dan Arjuna serta Werkudara. Terkena senjata para prajurit yang terbang bagaikan gerimis yang tercurah dari langit, Candabirawa membelah diri. Menjadi sepuluh, seratus, seribu dan tanpa hitungan lagi yang dapat terlihat. Geger para prajurit Hupalawiya lari salang tunjang melihat kejadian disekelilingnya yang begitu nggegirisi. Kresna segera bertindak menghentikan rangsekan musuh dalam ujud mahluk kerdil yang begitu menyeramkan itu. Perintah Kresna untuk bertindak tanpa melawan amukan Candabirawa disebarkan ke seluruh prajurit yang segera menyingkir.

Ketika serangan berhenti, maka para mahluk kerdil itupun ikut terhenti, saling berpandang dan termangu mangu sejenak. Sebagian lagi larut menjadi semakin sedikit. Tetapi tak lama kemudian mereka bergerak kembali kearah dimana Prabu Puntadewa berada. Ketika sudah dekat jarak antara para manusia kerdil itu, tiba-tiba gerombolan itu berhenti mendadak. Mereka kemudian saling berbisik. “Heh teman temanku semua, kita sudah memperbanyak diri. Tapi begitu aku melihat ke arah Prabu Puntadewa, kelihatan olehku disitu bersemayam sesembahanku yang lama, Begawan Bagaspati. Teman, kita telah lama merasakan lapar dan capek ikut Prabu Salya yang kurang memperhatikan kita, terbawa oleh kesenangan yang ia jalankan sehari hari. Prabu Salya kebanyakan bersuka ria dari pada melakukan olah penyucian diri. Akan lebih baik bila kita ikut kepada sesembahan kita yang lama! Mari kawan semua, kita kembali ke haribaan Begawan Bagaspati”.


Bagai arus bah mengalir, para mahluk kerdil berwajah raksasa segera larut dalam raga Prabu Puntadewa. Peristiwa ajaib yang dilihat Prabu Salya membuatnya jantung Prabu Salya semakin berdebar. Guncang moral Prabu Salya, hingga terasa menyentuh dasar jantungnya yang terdalam. Semakin yakin ia bahwa saat yang djanjikannya telah tiba.

Prabu Puntadewa telah bersiap melepaskan panah dengan pusaka Jamus Kalimasadda yang disangkutkan pada bedhor anak panah. Busur telah terpegang pada tangan kirinya dan terutama ketetapan hati telah diambil. Tak akan menjadi dosa bila Batara Wisnu yang memerintahkan membunuh musuh.

Walau Prabu Puntadewa tidak sesering para saudaranya berolah warastra, tetapi sejatinya ia adalah salah satu murid Sokalima yang tidak jauh kemampuan olah senjata panah dibanding dengan Arjuna. Sebagaimana Arjuna yang mempunyai hati lebih tegar, maka Puntadewa sejatinya adalah pemanah jitu, baik menuju sasaran diam setipis rambut maupun sasaran bergerak secepat burung sikatan. Hatinya yang suci dan cenderung peragu-lah yang membuat ia tidak seterkenal adiknya, Arjuna, dalam olah warastra.



Maka ketika anak panah meluncur dari busurnya, tidaklah ia melakukannya untuk kedua kali. Sekali ia melepaskan anak panah kearah Prabu Salya, maka menancaplah anak panah itu kedada bidang Prabu Salya. Kulit Salya yang kebal terhadap berbagai macam senjata telah terpecah, rebah Prabu Salya!
Sakit di dada Prabu Salya tak terasakan, hanya kepuasan hati yang terasa ketika ia telah menyender di bangkai gajah. Ia telah memenuhi janji terhadap kemenakannya, Nakula dan Sadewa. Janji itu telah terlaksana dengan sempurna. Senyum lemah di bibir Prabu Salya ketika menarik nafas dan menghembuskannya untuk terakhir kalinya.

Seketika perang berhenti. Prabu Punta yang tidak lagi ingin melihat tumpahnya darah segera memberi aba aba kembali ke pakuwon, sedangkan prajurit Kurawa dengan sendirinya telah mundur mencari pembesar yang sekiranya masih bisa menaungi.

Hanya Patih Sengkuni yang merasa telah putus asa telah berbuat nekad. Kenyataan yang begitu pahit seakan tidak dapat diterimanya dengan akal sehatnya. Kurawa seratus dengan bantuan begitu banyak raja seberang, telah tumpas oleh krida Para Pandawa.  Dengan sesumbarnya yang mengesankan sebagai manusia yang telah kehilangan asa, ia gentayangan mengincar kematian Para Pandawa.

Patih Sengkuni adalah seseorang yang sejak kelahirannya telah ditakdirkan membawa watak culas. Kelahirannya ditandai dengan terusirnya seorang dewa dari pusat Kahyangan, Paparjawarna. Dewa yang memang memangku sifat culas yaitu Batara Dwapara. Terusirnya Batara Dwapara itu bersamaan dengan lahirnya Harya Suman, nama kecil dari Sengkuni atau Sakuni.

Putra Prabu Gandara itu telah disusupi oleh Batara Dwapara yang diperbolehkan oleh Sang Hyang Wenang untuk menitis kepada seorang anak manusia yang tertakdir sebagai tukang memanasi suasana. Maka sepanjang hidupnya, ia telah berlaku mengipas segala bentuk bara angkara sekecil apapun menjadi berkobar liar menyambar-nyambar.

Dengan tidak lebih duapuluh Kurawa yang tersisa, Harya Sengkuni mengamuk menarik perhatian Prabu Kresna dan Werkudara yang masih saja siaga menghadapi suasana yang mungkin saja terjadi.

“Werkudara! Lihat Sangkuni mengamuk! Jangan dikira ia yang bertubuh bungkuk dan lemah, dapat kamu kalahkan dengan segenap kekuatan tenagamu. Tetapi sebenarnyalah  ia adalah seorang yang kebal senjata. Tetapi otakmu harus kau gunakan juga. Mungkin kamu dulu sudah ketahui, bahwa ia telah berlumurkan minyak Tala ketika cupu berisi minyak Tala peninggalan orang tuamu Prabu Pandu menjadi rebutan dan jatuh ke sumur dalam. Ketika itu Pendita Kumbayana telah berhasil mengangkat cupu itu, tetapi karena masih jadi rebutan dan minyak Tala itupun tumpah. Sangkuni telah melumuri dirinya dengan minyak Tala dengan bergulingan diatas tumpahan minyak. Tetapi ada yang terlewat, yaitu bagian duburnya. Bagian itulah yang kamu dapat jadikan sasaran awal untuk menyobek kulit dagingnya!”

Melompat Werkudara tidak sabar untuk menyelesaikan tugas di ujung sore itu. Didekati Sangkuni yang terbungkuk bungkuk sesumbar maciya ciya tanpa memperhatikan sekelilingnya. Ilmu kebalnya telah membuat ia bagaikan tak ada yang bisa mengalahkannya. Lengah Arya Suman!

Dan sejumlah Kurawa yang mencoba menghadang menjadi sasaran amukan Werkudara. Mereka bagaikan laron yang masuk kedalam kobaran api. Tumpas Kurawa yang menghadang.

“Hayoh keparat Pandawa! Maju kemari bila masih bernyali melawan Harya Suman . . . . !” Belum habis kata kata Sangkuni, Werkudara telah menyambar tubuh lawannya  yang memang tidak lagi gesit setelah raganya dirusak oleh Patih Gandamana. Patih Astina ketika Prabu Pandu Dewanata bertahta.

Pundak Harya Sangkuni dipegang erat, kemudian diangkat kakinya sehingga ia terbalik. Sejurus kemudian kuku Pancanaka Werkudara telah mendarat di sela sela bokong Sengkuni. Sementara kaki Werkudara telah menahan salah satu kaki Sengkuni yang satu lagi. Belah raga Sengkuni dengan jerit mengiring kematiannya.

“Werkudara, belum cukup kamu menangani raga Sengkuni. Ingat sumpah ibumu, Kunti, ketika ia telah dilecehkan olehnya, sehingga kemben ibumu melorot dan menjadi tontonan dan sorakan orang-orang Kurawa. Ketika itu ibumu bersumpah, tak akan berkemben bila tidak menggunakan kulit dari Patih Sengkuni yang telah mempermalukannya. Kuliti sekalian dinda!”

Senja telah menjelang usai gugurnya sang senapati utama, Prabu Salya. Layung senja oleh terbawa awan mendung melayang menyorotkan cahaya jingga, ketika Dewi Setyawati telah sampai di medan Kurukasetra. Berdua dengan Endang Sugandini, Dewi Satyawati seakan berenang dalam genangan darah. Sebentar sebentar ia membolak balik jenazah yang terkapar, mencari cari jangan jangan jenazah itu adalah sang suami. Sementara mendung makin tebal terkadang seleret petir menyambar menerangi walau sesaat sosok demi sosok  yang ia perkirakan adalah raga Prabu Salya.

Ketika untuk kesekian kali kilat menerangi medan perang itu, Dewi Setyawati tak lagi ragu terhadap sosok yang ia perkirakan sebagai jenazah suaminya. Menjerit Dewi Setyawati memanggil nama suaminya. Dipeluk sosok yang belum lagi kering darah didadanya. “Kanda Prabu, paduka telah meninggalkan hamba. Paduka gugur sebagai tawur perang ini. Walau paduka telah tidak lagi bernyawa, namun sikap tubuh dalam gugur paduka, seakan akan melambai mengajak hamba turut serta”. Sejenak Setyawati menciumi jenazah suaminya yang sudah semakin dingin. Ditetapkannya hatinya untuk menyusul kematian suami tercintanya, “ Marilah kanda, ajakan kanda untuk pergi bersama seperti yang Paduka ucapkan semalam, tak kan kuasa hamba tolak”. Segera diraih cundrik, sejenis keris kecil yang terselip di pinggang Dewi Setyawati, tewas Sang Dewi menyusul kekasih hatinya. Sementara Begawan Bagaspati dengan senyum menjemput dan menggandeng anak dan menantunya menapaki keabadian.

Endang Sugandini yang sama sama mencari jenazah Prabu Salya tak jauh dari Dewi Setyawati segera datang menghampiri, ketika mendengar jerit saudara sekaligus temannya karibnya. Melihat Prabu Salya dan Dewi Setyawati yang keduanya saling berpeluk, terpekik. Tanpa pikir panjang segera ia juga melepas cundrik yang menancap di dada Dewi Setyawati, kemudian menyusul Salya dan Setyawati.

Sepi menguak di Kurukasetra setelah peristiwa itu. Awan mendung yang menggantung telah berubah menjadi hujan yang demikian lebat. Air hujan itu seakan telah mensucikan ketiga raga manusia yang memiliki kesetiaan tanpa cela.